
LAMA menahan diri tentang tujuan perang di Gaza dan Tepi Barat, pada 19 Mei PM Israel Benjamin Netanyahu mengaku Israel akan menduduki enklave itu secara permanen dengan mendeportasi 2,3 juta warganya ke negara lain. Israel pun berniat menganeksasi Tepi Barat. Ide ini didukung Presiden AS Donald Trump. Ketika melawat empat hari (13-16 Mei) ke Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab, Trump menyatakan warga Palestina di Gaza akan dideportasi ke Libia.
Bila sebelumnya Trump menyatakan akan merelokasi ke Mesir, Yordania, dan Indonesia, serta menjadikan Gaza sebagai Riviera of Middle East (detinasi wisata air angat Timteng), kali ini ia menegaskan Gaza akan dijadikan ‘zona kebebasan’ (freedom zone). Libia adalah negara dengan wilayah yang sangat luas jika dibandingkan dengan populasinya yang kecil. Sejak Arab Spring 2011 yang menjatuhkan Muammar Qaddafy, Libia terbagi ke dalam dua zona dengan pemerintahan masing-masing.
Pemerintahan wilayah timur yang berbasis di Tobruk adalah Dewan Perwakilan Rakyat pimpinan Khalifah Haftar. Sementara Pemerintahan Persatuan Nasional yang diakui PBB berkedudukan di Tripoli. Ketua Dewan Kepresidenannya ialah Mohammed al-Menfi.
Konflik Libia sulit diselesaikan karena banyak negara, baik negara Timteng maupun Barat, terlibat dalam konflik dan dukung-mendukung. UEA diketahui mendukung Khalifah Haftar, sekaligus mendukung deportasi warga Gaza. Apakah dengan demikian telah ada kesepakatan UEA dengan Haftar untuk menampung warga Palestina?
Trump juga mendukung gagasan Israel mengambil alih pendistribusian pangan dari tangan PBB. Ia mendirikan Yayasan Kemanusiaan Gaza asal AS untuk mengambil alih tugas itu di bawah pengawasan tantara Israel. Serta-merta gagasan ini ditolak PBB urusan kemanusiaan. Karena, sesuai hukum internasional, penyaluran logistik ke wilayah perang harus dilakukan oleh entitas yang tidak parsial, netral, dan independen. PBB sendiri mampu melakukannya dan memiliki pangan yang cukup untuk didistribusikan asalkan blokade Israel dicabut.
Dus, Israel dan AS tidak dibenarkan melakukannya, karena mereka terlibat konflik kepentingan. Memang bila hal itu terjadi, Israel dan AS akan menjadikannya senjata demi mencapai kepentingan mereka sendiri. Apalagi Israel hanya akan mendirikan tempat penyaluran di tempat-tempat tertentu yang sulit untuk dijangkau semua warga Gaza. Lalu, Israel akan merayu mereka dengan makanan untuk bersedia dideportasi. Yang juga penting untuk disebutkan, PBB khawatir Israel dan AS akan menciptakan preseden yang berpotensi merusak fungsi PBB dalam hal ini.
TRUMP DI TIMTENG
Posisi Trump yang berpihak kepada Netanyahu ini cukup mengejutkan. Toh, menjelang lawatannya ke Timteng muncul spekulasi bahwa bakal ada kejutan dalam kunjungan Trump berdasarkan fakta bahwa ia jengkel kepada Netanyahu yang terus membombardir Gaza, melakukan genosida, menjadikan kelaparan sebagai senjata untuk menundukkan Hamas, merampas tanah Palestina di Tepi Barat, dan melakukan ethnic cleansing. Lalu, beberapa hari sebelum bertolak ke Timteng, Trump membuat kesepakatan damai dengan milisi Houthi di Yaman tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan Israel.
Berbeda dengan presiden-presiden AS sebelumnya, Trump juga tak singgah di Israel dalam lawatan ini. Hal itu dianggap penghinaan terhadap Israel. Hal lain yang dianggap melecehkan Israel ialah Utusan Khusus Trump untuk Timteng Steve Witkoff berunding langsung dengan Hamas di Doha, Qatar, yang berujung pada pembebasan Idan Aleksander, pemilik kewarganegaan ganda AS-Israel, tanpa imbalan untuk Hamas. Lagi-lagi hal ini memperlihatkan ketidakmampuan diplomatik pemerintahan Netanyahu membebaskan sandera Yahudi di Gaza.
Netanyahu tentunya juga kecewa atas kemauan Trump menyelesaikan isu nuklir Iran melalui jalan politik, bukan militer. Padahal, sudah lama Netanyahu menghendaki AS bersama Israel menyerang situs-situs nuklir, infrastruktur minyak, dan pangkalan rudal balistik serta pabrik drone Iran. Trump lebih mendengar negara-negara Arab Teluk untuk tidak berperang dengan Iran. Untuk itu, Trump mencopot Penasihat Keamanan Nasional AS Mike Waltz yang diam-diam berkoordinasi dengan Israel dalam rencana menyerang Iran.
Tidak sampai di situ, Trump menjumpai Presiden Suriah Ahmad al-Sharaa di Riyadh. Sebelumnya ketika masih menjadi anggota al-Qaeda, lalu Islamic State, al-Sharaa pernah ditangkap dan dipenjarakan AS di Irak. Di hari kemudian, untuk melepaskan diri dari al-Qaeda, al-Sharaa membentuk Hay’at Tahrir al-Sham yang pada 8 Desember berhasil memimpin kaum oposisi meruntuhkan rezim Bashar al-Assad di Suriah. Trump bahkan mencabut sanksi AS yang akan sangat membantu Suriah membangun ekonominya yang compang-camping akibat perang saudara selama 14 tahun. Pendekatan Trump ini juga mengecewakan Netanyahu yang menginginkan Suriah tetap lemah dan tercabik-cabik oleh berbagai faksi.
Yang jadi fokus pembicaraan Trump dengan tiga pemimpin Arab ialah bisnis, perdagangan, kerja sama kecerdasan buatan, dan investasi bernilai US$2 triliun. Normalisasi hubungan Saudi-Israel tidak dibicarakan. Padahal, pendahulu Trump, Presiden Joe Biden, mensyaratkan normalisasi hubungan dengan Israel untuk Saudi bisa mendapatkan pakta militer dengan AS, reaktor nuklir, dan persenjataan canggih AS. Isu ini memang tidak dibicarakan karena timing-nya tidak tepat, kecuali Israel bersedia berdirinya negara Palestina.
ETHNIC CLEANSING
Kendati Trump meminggirkan Netanyahu dalam beberapa hal, gagasan ethnic cleansing tetap dipertahankan. Artinya, Trump sepakat bahwa Palestina tidak boleh memiliki negara. Sebagai proksi AS, Israel harus tetap tampil dengan postur militer yang kuat sebagai faktor deterrence. Hal itu tak mungkin terjadi sepanjang Hamas tak dikalahkan dan warga Palestina, basis Hamas, tetap eksis di Gaza. Keberhasilan serangan dadakan Hamas pada 7 Oktober 2023 telah meruntuhkan supremasi badan intelijen (Mossad dan Shin Bet) dan IDF. Kalau hal ini tak dipulihkan, faktor deterrence pada tubuh IDF akan hilang.
Sementara itu, Hamas tak juga bisa dikalahkan padahal Israel sudah menghabiskan sumber daya ekonomi, militer, dan reputasi internasional yang sangat besar. Belum lagi pecahnya kohesi sosial-politik negara itu. Di sisi lain, tekanan internasional atas Israel yang kian besar akibat menjadikan kelaparan sebagai senjata tak dapat diabaikan. Dalam konteks inilah Israel bersedia membuka akses bantuan kemanusiaan ke Gaza meskipun dalam jumlah yang tak memadai sambil terus menyerang penduduk sipil, rumah sakit, membatasi masuknya air bersih dan listrik. Harapannya, komunitas internasional akan diam dan lebih fokus pada dinamika geopolitik dan geoekonomi global akibat kebijakan tarif Trump.
Disayangkan para pemimpin Arab tak menggunakan pengaruh mereka untuk membujuk Trump menekan Netanyahu agar segera menghentikan ethnic cleansing di Gaza dan Tepi Barat. Seolah-olah isu Palestina tak bersangkut paut dengan mereka. Padahal, Palestina adalah induk persoalan di Timteng. Ethnic cleansing yang sedang berjalan di Gaza dan Tepi Barat, yaitu merelokasi jutaan warga Palestina ke negeri lain, yang akan menguburkan cita-cita mereka memiliki negara di tanah air mereka sendiri, akan menciptakan persoalan tersendiri. Bisa-bisa Arab Spring jilid II akan muncul kembali untuk mendongkel rezim-rezim yang tak mampu menghadapi rezim rasis Israel dan imperialis AS.
Untuk itulah, sehari setelah Trump meninggalkan Timteng, 17 Mei, Liga Arab kembali menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi di Baghdad untuk menegaskan kembali komitmen mereka merekonstruksi Gaza tanpa merelokasi penduduknya. Ini sama dengan KTT serupa yang diselenggarakan di Kairo pada 4 Maret. Dengan demikian, rencana Israel dan AS untuk mendeportasi warga Palestina ke Libia tak akan bisa dilaksanakan karena Libia adalah negara Arab yang terikat dengan hasil KTT ini. Lebih dari itu, rekonstruksi Gaza mustahil bisa dilaksanakan tanpa partisipasi militer maupun ekonomi Arab.
Pada Juni mendatang, Saudi dan Prancis mensponsori konferensi PBB tentang negara Palestina di New York. Event ini diharapkan menyadarkan kembali masyarakat global tentang adanya ketidakadilan yang menganga di Timteng. Sudah hampir delapan dekade dunia membiarkan adanya perampasan tanah, pengusiran, pemenjaraan tanpa pengadilan, dan pembunuhan orang-orang Palestina, dan kini ethnic cleansing tanpa hukuman bagi pelakunya. Dan, ‘nakba’ (malapetaka) ini dilakukan atas nama kepentingan pribadi.
Netanyahu memang melakukan segalanya demi mempertahankan kekuasaannya, bukan untuk menjaga eksistensi Israel. Tidak ada lagi nilai strategis yang ingin dicapai di Gaza. Ia takut kalau perang diakhiri, maka pemerintahannya akan runtuh karena terlilit isu korupsi, pelemahan lembaga pengadilan, dan kelalaian menjaga keamanan negara, sehingga Hamas berhasil menyusup ke Israel. Ancaman ini te...