Melawan Cengkeraman Plutokrasi

3 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Melawan Cengkeraman Plutokrasi (Dok. Pribadi)

NODA gelap kembali mencoreng pesta demokrasi lokal. Kali ini terjadi di Pilkada Barito Utara, Kalimantan Tengah. Dua pasangan calon (paslon) yang berlaga pada pemilihan bupati di wilayah tersebut terungkap melakukan praktik politik uang. Satu suara dibeli oleh pihak paslon dengan harga sampai dengan Rp16 juta (Media Indonesia 17/5/2025). Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mendiskualifikasi kedua paslon dan memerintahkan pemungutan suara ulang dengan paslon yang baru.

Padahal, pilkada 22 Maret 2025 yang diperintahkan hanya berlangsung di dua tempat pemungutan suara (TPS) itu ialah pemungutan suara ulang (PSU) karena pada pilkada serentak 27 November 2024 lalu telah ditemukan bukti adanya penyalahgunaan hak pilih.

Berulangnya penyimpangan etika dan hukum dalam pilkada di daerah tersebut menjadi tamparan bagi proses demokrasi secara lokal atau secara khusus bagi daulat rakyat. Kebebalan politik dengan menempuh cara-cara kotor dan memalukan tersebut menjadi warisan kontestasi yang sangat riskan bagi nasib demokrasi lokal dan masa depan rakyat.

SELALU KANDAS

Eskalasi politik uang di berbagai daerah setiap ritual elektoral menumbuhkan kecemasan akan masa depan pembangunan demokrasi kita. Berbagai gerakan sosial dan moral yang bertajuk melawan politik uang sudah beribu kali dikumandangkan, aturan yang mencegah dan menegasi politik uang juga sudah tersedia, lengkap dengan sanksinya. Namun, semangat tersebut selalu kandas di ujung amplop fulus.

Sebenarnya, tak terbendungnya politik uang sudah disinyalkan oleh survei dari Lembaga Indikator Politik Indonesia yang mencatat pemilih yang memberikan suaranya karena uang meningkat pada Pemilu 2024. Terdapat 35% responden yang menentukan pilihan mereka karena uang pada Pemilu 2024. Lebih tinggi dari Pemilu 2019 (28%).

Pada Pilkada 2024, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyatakan bahwa per November 2024, Bawaslu sedang melakukan kajian awal terhadap 130 kasus pelanggaran politik uang selama masa tenang dan pemungutan suara Pilkada 2024. Terdapat dugaan pembagian uang atau materi lain di 7 provinsi dan 10 kabupaten/kota.

Sementara itu, dari laporan masyarakat, ditemukan dugaan pembagian uang atau materi lain di 7 provinsi dan 16 kabupaten/kota. Potensi pembagian uang atau materi lainnya ditemukan dari pengawasan Bawaslu di 3 provinsi dan 7 kabupaten/kota. Sementara itu, masyarakat melaporkan potensi pembagian uang dan materi lainnya di 12 provinsi dan 21 kabupaten/kota.

Sepertinya normalisasi politik uang kian membelukar dan mencengkeram daulat rakyat. Uang haram dalam transaksi politik menjadi komoditas yang digerakkan untuk menggiring masyarakat ke dalam jebakan permisivitas 'wani piro' (berapa yang berani kamu tawarkan) dan menganggap uang yang digelontorkan oleh para politisi ialah 'hak' masyarakat yang telah berlelah-lelah ke TPS.

Sementara itu, bagi politisi, uang suap kepada rakyat adalah bagian dari 'sikap baiknya' kepada rakyat di tengah pesta yang hanya sekali lima tahun terjadi. Para elite memang berada di titik banal kerakusan terhadap kekuasaan sehingga gemar memproduksi berbagai metode manipulatif dan penuh kelicikan di tiap proses pilkada. Mereka selalu membaca kekuasaan dalam gairah onani yang mereduksi makna suara rakyat hanya dengan kepuasan fulus dan kursi kekuasaan.

PLUTOKRASI

Kevin Phillips dalam Wealth and Democracy: a Political History of the American Rich (2002) mengatakan bahwa praktik demokrasi mulai tersandera oleh budaya plutokrasi (ploutos: kekayaan dan kratos: kekuasaan) yang menjadikan uang sebagai episentrum dari 'habitus' demokrasi.

Cengkeraman plutokrasi tersebut tanpa sadar telah lama mendegradasikan makna politik kita, dari sebuah arena perwujudan kepentingan bersama menjadi panggung pengultusan uang dan kekayaan yang difasilitasi politik berbiaya tinggi, untuk meraih kemenangan politik. Maka itu, tidak heran jika di lembaga legislatif atau eksekutif sebagai institusi penting untuk memproduksi kebijakan publik, selalu dihuni oleh politisi yang berlatar orang-orang kaya sekaligus menahbiskan bahwa dunia politik hanya milik politisi berkantong tebal.

Padahal, filsuf Plato (427 SM-347 SM) menegaskan bahwa untuk mengelola negara, dibutuhkan orang-orang yang bijaksana dan cerdas, bukan yang hanya memiliki akses kapital. Dalam perspektif demokrasi, contohnya, nilai moral dan etika selalu menjadi ruh yang diproyeksikan oleh masyarakat demokratis untuk menegakkan prinsip kemaslahatan bersama (bonum commune) dalam tata kelola bernegara.

Sayangnya, prinsip tersebut belum menjadi orientasi dalam cara berdemokrasi sampai detik ini. Upaya mencapai kekuasaan (materialisme) dengan menghalalkan segala cara pun selalu mendapatkan ruang justifikasi di berbagai agenda suksesi. Nilai subtansi berdemokrasi (integritas, moralitas, transparansi, dan akuntabilitas) begitu gampang dikangkangi oleh hal-hal prosedural yang dibungkus berbagai rekayasa dan tipu daya.

Dalam kontestasi elektoral, praktik demokrasi kerap dimaknai sebatas prosedural: ritual kampanye, pemungutan suara. Namun, melupakan prinsip substantif: otonomi, kebebasan politik, kesetaraan, toleransi, dan tanggung jawab, termasuk aturan main (rule of the game) politik yang berbasis supremasi hukum dan kontrol sipil.

Padahal, pada pemenuhan prinsip substantif itulah tersimpan kebajikan yang menebalkan makna esensial berdemokrasi. Di situlah rakyat menemukan kedaulatannya sebagai warga negara (citizenship) karena memiliki kesadaran kewarganegaraan (sense of citizenship) dalam menjaga hak daulatnya.

Ke depan, penanaman sense of citizenship dalam diri rakyat adalah mutlak. Bahwa dalam diri masyarakat ada tanggung jawab menyelamatkan kedaulatannya dari 'kutuk' politik uang. Agar demokrasi kembali dimaknai sebagai one man one vote, bukan one man one million yang mereduksi martabat rakyat.

Maka itu, tak cukup dengan undang-undang antipolitik uang ataupun penegakan hukum. Pendidikan politik sangat diperlukan untuk memupuk kesadaran dan kedewasaan bernegara dari masyarakat. Negara harus memfasilitasi internalisasi nilai tanggung jawab politik tersebut dalam konteks pembangunan demos yang kontinu dan investatif, ketimbang misalnya memboroskan 'bagi-bagi bansos (bantuan sosial)' yang justru makin mengentalkan ketidaksetaraan rakyat dan elite atau negara.

Negara, termasuk parpol, harus serius menginvestasikan nilai edukasi politk bagi rakyat agar politik uang, korupsi, plutokrasi di bangsa ini bisa dikalahkan sengatnya, digantikan dengan perilaku politik elite dan rakyat yang bermartabat.

Read Entire Article